Makalah Peran & efektivitas hukum
21:10:00
By
Unknown
Politik
0
komentar
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hukum merupakan alat rekayasa sosial yang digunakan untuk
mengubah pola dan tingkah laku masyarakat menjadi sesuai dengan peraturan yang
dikehendaki oleh hukum. Dewasa ini banyak terjadi pelanggaran dan kejahatan
yang terjadi di masyarakat, seperti kasus penerobosan lampu merah yang banyak
dilakukan oleh masyarakat pengguna jalan.
Memang ada studi tentang hukum yang
berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak
di sebut sebagai sosiologi hukum melainkan disebut sebagai Sosiologi
Jurispudence. Penelahan hukum secara sosiologis menunjukkan bahwa hukum
merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan,
tabiat, dan perilaku masyarakat.
2. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas
masyarakat maupun moralitas universal.
3.
Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu
keadilan dan ketertiban sosial dalam
menata interaksi antar anggota masyarakat.
Di samping itu,
pesatnya perkembangan masyarakat , teknologi dan informasi pada abad kedua
puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir
ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi
antara sektor hukum dan masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan. Namun
masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting
dari efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah
pengertian peranan dan Efektivitas Hukum?
2. Bagaimanakah
hal berlakunya hokum?
3. Apa sajakah Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas hokum dan Teori-teori Efektivitas
Hukum
C.
TUJUAN
MASALAH
1. Untuk
mengetahui pengertian peranan dan efektivitas hokum
2. Untuk
mengetahui hal berlakunya hokum
3. untuk
mengetahui apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hokum dan
teori-teori efektivitas hukumdan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PERANAN
DAN EFEKTIFITAS HUKUM
a.
Definisi
Peranan
Berdasarkan
kamus besar Bahasa Indonesia, peranan adalah sesuatu yang menjadi
bagian atau
memegang pimpinan terutama dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa.ada
beberapa pendapat menurut ahli yaitu:
Menurut Soejono Soekanto dalam buku yang berjudul
sosiologi suatu pengantar (2012:212), menjelaskan pengertian peranan merupakan
aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melakukan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan.
Perbedaan antara kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. Keduanyatak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung
pada yang lain dan sebaliknya.tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan
tanpa peranan. Sebagaimana dengan kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti.
Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola
pergaulan hidupnya. [1]
Hal itu sekaligus
berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta
kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Peranan
adalah suatu rangkaian prilaku yang teratur, yang ditimbulkan karena suatu
jabatan tertentu, atau karena adanya suatu kantor yang mudah dikenal.
Kepribadian seseorang barangkali juga amat mempengaruhi bagaimana peranan harus
dijalankan. Peranan timbul karena seseorang memahami bahwa ia bekerja tidak
sendirian. Mempunyai lingkungan, yang setiap saat diperlukan untuk
berinteraksi. Lingkungan itu luas dan beraneka macam, dan masing-masing akan mempunyai
lingkungan yang berlainan.
Tetapi peranan yang
harus dimainkan pada hakekatnya tidak ada perbedaan dengan pendapat Miftah Thoha (2012:10). Menurut Mintzberg
dalam buku Pengantar Manajemen Dan buku Kepemimpinan Dalam Manajemen yang di
tulis oleh Siswanto dan Miftah Thoha (2012: 21 dan 12), ada tiga peran yang
dilakukan pemimpin dalam organisasi yaitu:
1.
Peran Antarperibadi (Interpersonal Role), dalam peranan antar pribadi, atasan
harus bertindak sebagai tokoh, sebagai pemimpin dan sebagai penghubung agar
organisasi yang dikelolahnya berjalan dengan lancar. Peranan ini oleh Mintzberg
dibagi atas tiga peranan yang merupakan perincian lebih lanjut dari peranan
antarpribadi ini. Tiga peranan ini dijelaskan sebagai berikut:
a. Peranan
sebagai tokoh (Figurehead),
yakni suatu peranan yang dilakukan untuk
mewakili organisasi yang dipimpinnya didalam setiap kesempatan dan persoalan yang timbul
secara formal.
b. Peranan
sebagai pemimpin (Leader),
dalam peranan ini
atasanbertindak sebagai pemimpin. Ia melakukan hubungan interpersonal dengan
yang dipimpin, dengan melakukan fungsi-fungsi pokoknya diantaranya pemimpin,
memotifasi, mengembangkan, dan mengendalikan.
c. Peranan
sebagai pejabat perantara (Liaison Manager),
disini atasanmelakukan
peranan yang berinteraksi dengan teman sejawat, staf, dan orang-orang yang
berada diluar organisasinya, untuk mendapatkan informasi.
b.
Definisi
Efektivitas Hukum
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata efektif mempunyai arti efek, pengaruh, akibat atau dapat
membawa hasil. Jadi, efektivitas adalah keaktifan, daya guna, adanya kesesuaian
dalam suatu kegiatan orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju.
Efektivitas pada dasarnya menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, sering atau
senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun sebenarnya ada
perbedaan diantara keduanya. Efektivitas menekankan pada hasil yang dicapai.[2]
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan
sejauh mana rencana dapat tercapai. Semakin banyak rencana yang dapat dicapai,
semakin efektif pula kegiatan tersebut, sehingga kata efektivitas dapat juga
diartikan sebagai tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dari suatu cara atau
usaha tertentu sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Sedangkan Pengertian
Hukum menurut E. Utrecht adalah
himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan
seharusnya di taati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya
pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari
pemerintah masyarakat itu.[3]
Menurut A. Ridwan Halim, Pengertian Hukum
merupakan peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada
dasarnya peraturan tersebut berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang
harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
Dapat di simpulkan
bahwa efektifitas hokum adalah suatu keadaan sejauh mana rencana akan hendak di
capai dalam suatu masyarakat sesuai dengan aturan-aturan dan norma-norma yang
berlaku yang harus di taati oleh masyarakat.
Sedangkan Menurut Hans
Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula tentang
Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat,
bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma
hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum.
Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan
norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu
benar-benar diterapkan dan dipatuhi.
c. Hal Berlakunya Hukum
Hal
berlakunya hokum yaitu :
1. Secara
filosofis
Berlakunya hukum secara
filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai
nilai positif yang tertinggi.
2. Secara
yuridis
Berlakunya hukum secara
secara yuridis menurut ahli , di temukan anggapan-anggapan sebagai berikut:
a.
Hans kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah hukum mempunyai kelakuan yuridis,
apabila penetuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Ini
berhubungan dengan teori “stufenbau” dari kelsen
b.
W. Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu
kaidah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de
verischte ize is tot sand gekomen”
3. Secara sosiologis
Kaedah hukum berlaku secara sosiologis,
apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan
berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori
kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat
(teori pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori
pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui masyrakat.
Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum
tersebut dipaksakan oleh penguasa.
d.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Efektifitas Hukum
menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara
lain :
1.
faktor hukumnya sendiri
Hukum berfungsi untuk
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat
abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari
sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam
masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat.[4]
Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan,
maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung
pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof.
Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si
Sangkala. Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal
363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya sajam,
yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana
ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan
itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan
pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan
hukum tersebut.
2. faktor penegak hukum
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law
enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian,
keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum
menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya)
penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga
pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam
melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan
pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana.
Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari
usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat.
Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka
keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan
yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan
kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan dalam
pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang
diketahui dan diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja
dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan
(mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal “kejahatan dimana korbanya
tidak dapat ditentukan”atau “crimes without victims”) dan karena itu tidak
dapat di selesaikan. Keadaan seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya
kepada sistem peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama
menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.[5]
Secara sosiologis,
setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan
(role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur
kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu
seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu
hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban
adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur-
unsur sebagai berikut :
(1) peranan yang ideal / ideal role ;
(2) peranan yang seharusnya / expected role;
(3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri /
perceived role; dan
(4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role.
Penegak
hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga
harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika
memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan
keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode
etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah
ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum.
Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas
bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga
mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini,
bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.
Aturan para aparat dan
aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :
1.
Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah
yang mengambarkan penjelmaan tugas,
status, organisasi,wewenang dan tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan,
fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI.
2. Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan
tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang
kejaksaan RI.
3. Kehakiman, secara umum kedudukan, fungsi dan
tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasan
hakim
4. Lembaga pemasyarakatan, secara umum
kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 19 tahun 2005
tentang pemasyarakat.
ada tiga elemen penting
yang mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum,
menurut Jimmly Asshidiqie elemen tersebut antara lain :
(1)
istitusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(2)
budaya kerja yang terkait dengan
aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan
(3) perangkat peraturan yang mendukung baik
kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur
materi
hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum
acaranya. Upaya penegakan hukum secara
sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga
proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara
nyata
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum oleh penegak hukum di
atas ditemukan beberapa halangan yang disebabkan oleh penegak hukum itu
sendiri, halagan-halangan tersebut antara lain
1. Keterbatasan
kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
beriteraksi.
2. Tingkat
aspirasi yang relative belum tinggi.
3. Kegairahan
yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat suatu proyeksi.
4. Belum
adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan materiel.
5. Kurangnya
daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Menurut Soerjono
Soekanto hambatan maupun halangan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum
tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai
sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan,
peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang
lengkap, oreentasi ke masa kini dan masa depan, menyadari potensi yang dapat di
kembangkan, berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan iptek,
menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang teguh pada keputusan yang
diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantab.[6]
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hokum
Fasilitas pendukung
secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang
lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor
pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan
sebagainya. Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan
hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara
tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan
pemberantasan kejahatan.
Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan
yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan perkara-perkara pidana,
sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak
hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual, maka
untuk sarana atau fasilitas tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. Yang tidak ada maka diadakan yang baru betul;
2. yang rusak atau salah maka diperbaiki atau di
betulkan;
3. yang kurang seharusnya di tambah;
4. yang macet harus di lancarkan
5. yang mundur atau merosot harus di majukan atau di
tingkatkan.
Faktor ketiga yaitu
faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum, menurut Soerjono
Soekanto sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai.
Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi
maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita bisa bayangkan
bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya
memiliki pendidikan yang tidak memadai, memiliki tata kelola organisasi yang
buruk, di tambah dengan keuangan yang minim.
Akan tetapi hal itu
bukanlah segala-galanya kalau aparatnya sendiri masih buruk, karena sebaik
apapun sarana atau fasilitas yang membantu penegakkan hukum tanpa adanya aparat
penegak hukum yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu dapat kita
lihat misalnya pada insatasi kepolisian, di mana saat ini hampir bisa dikatakan
dalam hal fasilitas pihak kepolisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi
berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lembaga Transparency International
Indonesia menyatakan bahwa instasi terkorup saat ini ada di tubuh kepolisian
dengan indeks suap sebesar 48 %, bentuk korupsi yang terjadi di tubuh
kepolisian, itu contohnya saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh Polisi Lantas
yang mungkin sering dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih
tinggi semisal tersangka kasus korupsi Susno. Begitu juga Dalam ligkup
pengadilan dan kejaksaan pun tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di
institusi kepolisian.
4.
faktor masyarakat
Penegakan hukum berasal
dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat.
Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat
Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfareasi antara lain :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
2. hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem
ajaran tentang kenyataan;
3. hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni
patokan perilaku pantas yang diharapkan;
4. hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum
positif tertulis) ;
5. hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
6. hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau
penguasa;
7. hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
8. hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan
unik;
9. hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
10. hukum diartikan sebagai seni.
Berbagai pengertian tersebut di atas timbul karena masyarakat hidup
dalam konteks yang berbeda, sehingga yang seharusnya dikedepankan adalah
keserasiannya, hal inin brttujuan supaya ada titik tolak yang sama. Masyarakat
juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengindentifikasi dengan petugas (dalam hal ini adalah penegak hukum adalah
sebagai pribadi).
Salah
satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan
pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai
cermina dari hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat
memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan merasa bahwa
perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.
Permasalahan lain yang timbul sebagai
akibat anggapan masyarakat adalah megenai penerapan undang-undangan yang ada /
berlaku. Jika penegak hukum menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat,
maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian perundang-undangan bisa terlalu
luas atau bahkan tewrlalu sempit. Selain itu mungkin timbul kebiasaan untuk
kurang menelaaah bahwa perundang-undangan kadangkala tertinggal dengan
perkembagan di dalam masyarakat. Anggapan-anggapan masyarakat tersebut harus
mengalami perubahan dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat dilakukan
memlalui penerangan atau penyuluhan hukum yang bersinambungan dan senan tiasa
diefaluasi hasil-hasinya, untuk kemudian dkembangkan lagi. Kegiatan-kegiatan
tersebut nantinya kan dapat menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang
semestinya.
5. faktor
kebudayaan
Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan
masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non
material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip
Soerdjono Soekamto , bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem
kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan.
Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut
yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara
lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk
(sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan
nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.
Pasangan nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekamto
adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman.
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai
rohaniah/seakhlakan
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/
inovatisme.
Dengan adanya
keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin
hubungan timbal balik antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan
demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai
yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut
dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar
kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.
e.
Teori-teori
Efektivitas Hukum
Ada beberapa teori
tentang efektivitas yang dijelaskan oleh para sarjana yaitu:
Teori Efektivitas
(Soerjono Soekanto)
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan
mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang
dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan
pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap
tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah
induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.
Efektivitas hukum dalam
tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa
suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya
diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku
tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. ) Efektivitas hukum
artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni
efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya
masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya.
Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang
maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan
tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.
Diperlukan
kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum mempunyai pengaruh
terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-kondisi yang harus ada
adalah antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi hukum
lebih banyak tertuju pada sikap, oleh karena sikap merupakan suatu kesiapan
mental sehingga seseorang mempunyai kecendurangan untuk memberikan pandangan
yang baik atau buruk, yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata.Apabila
yang dikomunikasikan tidak bisa menjangkau masalah-masalah yang secara langsung
dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka akan dijumpai kesulitan-kesulitan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa efektivitas hukum merupakan bahwa orang benar benar
berbuat sesuai dengan norma norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa
norma norma itu benar benar di terapkan dan dipatuhi, serta berlakunya hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi. Untuk
mengetahui apakah hukum itu benar benar diterapkan atau dipatuhi oleh
masyarakat maka harus dipenuhi beberapa factor yaitu :
1. Factor
hukumnya sendiri
2. Factor
penegak hukum
3. Factor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Factor
masyarakat itu sendri
5. Factor
kebudayaan
Kelima factor tersebut
saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum itu,dan
juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum. Jadi apabila semua factor itu
telah terpenuhi barulah keadilan dalam masyarakat dapat dirasakan
sepenuhnya.Karena seperti diketahui bahwa keadilan adalah tujuan utama dari
penerapan hukum.Berarti dengan adanya keadilan hukum itu bisa diterima oleh
masyarakat umum dan barulah efektivitas hukum itu terwujud.
0 komentar :