Makalah peran dan fungsi agama dalam kehidupan berpolitik



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama dan politik sejatinya tidak bisa dipisahkan  karena agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum dan seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan, agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. sejumlah pemerintahan di seluruh dunia juga menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik,dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama,fakta lain bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya pada akal manusia,tidak benar dikatakan bahwa agama merupakan bentuk kekerasan bila dikaitkan dengan perpolitikan.agama dalam kehidupan bernegara diwujudkan dalam bentuk adopsi lembaga-lembaga keagamaan tertentu dalam negara serta adopsi nilai-nilai dan norma-norma agama dalam sistem nasional dan kebijakan publik secara umum
.Dalam kondisi demikian ini, hubungan antara agama dan politik tetap merupakan hubungan yang bersifat intersectionalyang berarti hubungan persinggungan antara agama dan politik,tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuh-nya terpisah.Bahkan legitimasi agama tetap diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan negara.Di sisi lain, modernisasi politik yang demokratis di era reformasi berimplikasi kepada meningkatnya partisipasi rakyat serta munculnya partai-partai politik baru, termasuk partai-partai agama (Islam).Di masa-masa awal reformasi, dukungan umat kepada partai-partai Islam cukup besar, dan yang lebih penting adalah adanya keteladanan dari para pemimpin politik dalam mempraktikkan nilai-nilai Pancasila di lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga politik.Sejalan dengan hal ini, faktor-faktor yang memengaruhi munculnya konflik antar warga tentu saja perlu diatasi atau dihilangkan.
B.     Rumusan Masalah
Bagaimana peran dan fungsi agama dalam kehidupan berpolitik
C.    Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi agama dalam menjalankan kehidupan politik


















BAB II
KAJIAN TEORI

A.    AGAMA
Agama dari segi bahasa, yang dimaksud di dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”adalah sesuatu yang berhubungan dengan ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan), dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.[1] Menurut Kamus sosiologi, pengertian Agama (religion) mencangkup tiga aspek pendekatan yakni:
1.      Menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.
2.      Merupakan seperangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri.
3.      Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.
Dengan mengacu pada beberapa pengertian di atas maka, dapat dicermati bahwa, agama yang dipercaya sebagai sebuah sistem kepercayaan dan praktik memiliki potensi untuk membentuk sebuah masyarakat yang etis,yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dianut bersama.

B.     PERAN AGAMA
Peran Perubahan. Artinya ajaran-ajaran agama dapat merubah umatnya kearah yang lebih baik. Dampak dari perubahan tersebut diharapkan mampu dirasakan oleh masyarakat luas. Agama harus membuka peluang agar umat dengan keputusan sendiri melakukan perubahan sekaligus mengubah masyarakat. Walaupun demikian, agama tidak boleh salah kaprah menilai bahwa semua hal dalam masyarakat [misalnya unsur-unsur budaya, tatanan dan interaksi sosial, cara hidup warisan nenek moyang, dan lain-lain] sebagai kebiasaan lama yang harus dirubah karena tidak sesuai dengan ajaran agama. Jika agama menemukan hal-hal dalam masyarakat yang mungkin saja bertantangan dengan ajaran keagamaan, maka tidak perlu melakukan pemaksaan agar meninggalkannya. Agama hanya memberikan pertimbangan agar umat dengan suka rela meninggalkan hal-hal tersebut.
C.    POLITIK
Politik dalam bahasa Arabnya disebut “Siyasah” atau dalam bahasa Inggrisnya “Politics”. Politik itu sendiri berarti cerdik atau bijaksana.[2] Memang dalam pembicaraan sehari-hari, kita seakan-akan mengartikan politik sebagai suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi sebenarnya para ahli ilmu politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi tentang politik. Ilmu politik pada dasarnya mempunyai ruang lingkup negara. Membicarakan politik pada galibnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat. Selain itu, ilmu politikjuga menyelidiki ide-ide, issue, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakikat negara serta bentuk dan tujuan negara, disamping menyelidiki hal-hal seperti pressure group, interst group, elit politik, pendapat umum (public opinion )peranan partai politik dan pemilihan umum.[3]
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk, proses negara-negara dan pemerintahan-pemerintahan. Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, kata “Polis” yang berarti “Negara Kota” dengan politik berarti ada hubungan itu khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, dan akhirnya kekuasaan.[4]
D.    AGAMA DAN PERILAKU POLITIK
Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya dengan tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada seseorang/individu, bagaimanapun dalam masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur institusional mempunyai nilai dan norma penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Agama yang menyangkut
kepercayaan beserta dengan ritual-ritualnya yang menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan kekuatan tersendiri.
Ada beberapa unsur-unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan. Yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok: Pertama, adanya unsur rasa takut. Kedua, adanya unsur rasa cinta. Ketiga, adanya unsur pemujaan. Keempat, adanya unsur kepercayaan.[5]
Dari keempat unsur inilah yang mendasari berbagai tindak perilaku politik seseorang atau suatu kelompok untuk mencapai tujuannya yaitu “kekuasaan’. Jadi perilaku politik adalah tingkah laku yang terorganisir dalam upaya mencapai tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku politik pertama-tama terdiri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengalikasiannya tersebut bersifat mengikat/paksaan terhadap kelompok masyarakat secara keseluruhan.Identifikasi perilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan adalah sebagai berikut:
1.      Pengambilan Keputusan
2.      Skala Prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum.
3.      Pengaturan dan pembagian alokasi sumber-sumber yang ada.[6]

E.     KETERLIBATAN LEMBAGA – LEMBAGA MASYARAKAT
Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat,terutama kelompok-kelompok kepentingan,(termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah tengahsekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkankebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut. Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement )dari lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etiskekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintahdan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, tentu saja akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya. Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahirkebiasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politikyang terbuka serta mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Namun, satu hal yangharus disadari adalah bahwa semua itu tidak akan berjalan dan tercapai dengan sendirinya. Sangat diperlukan proses yang terus-menerus untuk membuka kesadaran bersama dalampengelolaan politik.Salah satu poin yang terpenting dalam hal itu adalah persoalanperspektif pilihan sadar dan sengaja dari tiap insan politik alias manusia itu sendiri yang sejatinya merupakan mahluk politik.



BAB III
PEMBAHASAN

Agama sangat penting disegala aspek kehidupan umat manusia,selain itu agama juga berperan untuk menenangkan jiwa dan raga. Dengan agama yang kita yakini hidup akan lebih baik dan indah. Dengan agama kita akan lebih bijak menyikapi sesuatu.Oleh karena itu agama itu dibutuhkan oleh setiap umat manusia.
Seperti kita ketahui agama di indonesia banyak beragam antaranya islam, kristen khatolik, hindu, budha dan konghucu ini merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Dengan adanya agama membuat hidup manusia menjadi teratur dan terarah. Agama dalam hal ini salah satunya agama Islam mengatur kehidupan umatnya di berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, bidaya, politik, pendidikan, akhlak, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Islam merupakan agama Allah SWT sekaligus agama yang terakhir yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW  melalui malaikat jibril dengan tujuan untuk mengubah akhlak manusia ke arah yang lebih baik di sisi Allah SWT. Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam di kalangan umatnya tidak menggunakan cara yang sembarang. Tapi dengan menggunakan startegi-strategi yang disesuaikan dengan masyarakat di zaman itu. Startegi-strategi dakwah tersebut tanpa disadari berupa sesuatu yang bersifat politik.
Politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata Negara, urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan Negara atau terhadap Negara lain. Dengan menilik ke pengertian politik tersebut startegi-startegi dakwah yang digunakan Rasulullah SAW  adalah politik Islam. Peran ulama sepanjang masa kehidupan kaum Muslim, khususnya dalam kehidupan politik, sangatlah penting. Bahkan pada masa-masa kemunduran umat Islam sekalipun, peran penting ulama dalam kehidupan politik tetap tidak tergantikan.Pasalnya, Islam memang tidak memisahkan antara kehidupan politik dan spiritual, bahkan saat umat jatuh dalam kubangan sekularisme (yang menjauhkan agama dari urusan sosial-politik-kenegaraan) saat ini, yang berdampak pada terpinggirkannya para ulama. Ulama masih memiliki tempat tersendiri dalam pribadi umat dengan berbagai alasan. Karena itu, para penguasa atau calon penguasa selalu berusaha untuk meraih dukungan mereka.

A.    AGAMA ISLAM DAN POLITIK
Ada sebagian ulama mengatakan politik tidak terlepas dari nilai- nilai agama,seperti hal nya pada pemilu tahun 1955 sebagian partai peserta pemilu didominasi partai berbasis agama seperti masyumi,NU,PSI,Partai katolik dan lain sebagainya itu menunjukan bahwa partisipasi partai politik berbasis agama sangat kental pada sistem politik indonesia dari zaman – ke zaman.
Menyelamatkan agama sejatinya adalah dengan menegakkan akidah dan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan mereka, baik di ranah pribadi maupun ranah sosial-politik-kenegaraan.Semua ini tentu tidak bisa diwujudkan dalam sistem politk sekular saat ini. Sebaliknya, keselamatan agama menuntut adanya institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.masalah kepemimpinan sesungguhnya terkait dengan dua faktor: sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan yang digunakannya. Jika panduan untuk memilih pemimpin ini hanya terkait dengan sosok pemimpinnya saja, tentu hal demikian telah mengabaikan sama sekali sistemnya(yakni sistem sekular) yang justru gagal menyelamatkan agama dari sekadar sebatas penjaga moral belaka. Dalam sistem sekular saat ini, peran agama sebagai solusi atas seluruh problem kehidupan malah disingkirkan jauh-jauh. Jika hal ini tidak dilakukan, siapapun pemimpin yang terpilih, yakinlah, mereka hanya akan semakin mengokohkan sistem sekular ini. Akibatnya, harapan untuk menyelamatkan agama sekaligus menjauhkan liberalisme akan menjadi tinggal harapan, tidak akan pernah mewujud dalam kenyataan.
Melihat sejarah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW beliau melaksanakan politik kenegaraan mengirim dan menerima duta, memutuskan perang dan membuat perjanjian dan musyawarah. Dalam saah satu bukunya Prof. Ar-Rais ( diterjemahkan kedalam B.Indonesia oleh Prof. T. M.Hasbi Ash- Shiddieqy ) menyatakan hal sebagai berikut. Orang mengakui bahwa semua taat aturan yang Rosullulloh tegakan bersama para mukmin di madinah,apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan ukuran politik.dalam pada itu tidak ada halangan untuk menyatakan bahwa aturan itu bercirikan agama[7]
Oleh karena itu, keterlibatan agama dalam percaturan politik itu merupakan salah satu proses penting yang berjalan cepat dalam percaturan politik di kalangan masyarakat-masyarakat transisional. Barangkali penting untuk di kemukakan di sini tentang hakikat dua lembaga Islam yang disebutkan di atas. Syari’ah, yang mengalami perkembangan selama berabad-abad, berdiri tegas sebagai inti pemerintahan Islam tradisional, tetapi sekarang dengan cepat sedang digeser kedudukannya oleh hukum sekuler. Sesuatu yang mencerminkan kebangkitan gagasan-gagasan dan nilai-nilai Islam adalah munculnya partai politik, dan semua partai politik berdiri dalam kondisi yang tidak menentu dan tidak stabil. Pendek kata, bentuk-bentuk tradisional yang krusial dan stabil itu punah atau sedang menuju ke arah kepunahan; sedangkan unsur-unsur neo-tradisional berada dalam kondisi yang benar-benar ringkih.[8]

B.     AGAMA KRISTEN DAN POLITIK
Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatatsejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidakberangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, sepertiPattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku danManullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadarandan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras.Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telahmelakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan sebagain merubah diri menjadi partai politik. Kita dapatmencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama jugaterjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagaibagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional.Hanya saja, proses-proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan faktor internal dansituasi politik negara. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepadaorang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan orang kristen. Sesuatu yangseringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik teknis ketimbang berpolitik etis. Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung independensi gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja. Tidaklah mengherankan bila kekristenan mengalami kegamangan demikegamangan menghadapi berbagai realitas politik di Indonesia.Sesungguhnya, independensi tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung  jawab politik gereja. Perumusan menyangkut keterlibatan dalam konteks independensi harus dirumuskan batasan-batasannya secara teologis. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran yang demikian, gereja-gereja akan terdorong dan dimampukan melahirkan teologia politiknya yang otentik.

C.    AGAMA BUDHA DAN POLITIK
Dalam Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik. Hal seperti ini bukanlah merupakan persoalan yang kontroversi. Kontroversi baru muncul pada saat para biarawan hendak berpartisipasi dalam politik. Kontroversi ini bukan karena tidak adanya nasihat yang jelas tercantum dalam Kitab Suci tentang hal ini, melainkan karena gagasan awal dan penafsiran terhadap makna politik serta partisipasi seseorang di dalamnya. Misalnya, wawancara saya yang diterbitkan dalam satu majalah Buddhis dikutip oleh Kwong Min Poh sebagai tidak ada kerugian bagi para biarawan untuk berpartisipasi dalam politik dan dikutip oleh penulis majalah lain sebagai tidak ada keberatan bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik.
Dalam Buddhisme belakangan ini, ada beberapa biarawan yang terlibat dalam politik, tetapi kebanyakan terbatas pada aspek pendidikan dan bagaimana mereka membantu para pemimpin politik menyelesaikan berbagai perselisihan. Bagaimanapun juga, para biarawan adalah pekerja full-time yang sepenuhnya terlibat dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma. Mereka hampir tidak ada waktu dan tenaga untuk urusan – urusan keduniawian. Dalam konteks terminologi moderen, politik adalah suatu profesi, demikian juga kebiarawanan. Sesungguhnya adalah hal yang sulit dipikirkan bila seseorang secara bersamaan terlibat dalam dua profesi yang berbeda tujuannya.
Zaman sekarang sesekali kita melihat para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci. Menurut analisa saya, tingkah laku orang-orang ini disebabkan adanya alasan-alasan berikut:
Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet. Mereka yang tidak mempunyai pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya, apabila mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat sebagai menteri,wakil rakyat, anggota badan legislatif, dll.Sejak dulu hingga sekarang tetap saja ada sejumlah biksu politisi yang berpengaruh besar terhadap tatanan demokrasi di suatu negara. Artinya peran biksu disini sangatlah penting bagi agama untuk menjalankan suatu sistem pemerintahan[9]

D.    AGAMA HINDU DAN POLITIK
Bila kita perhatikan tujuan hidup umat hindu dan tujuan negara Republik Indonesia, mempunyai arah yang sama yaitu ingin mensejahterakan warganegaranya. Hanya saja negara mempunyai tujuan mensejahterakan warganya secara kolektif, sedangkan pada  umat Hindu terliat tujuan tersebut merupakan tujuan peribadi. Karena bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban dalam masyarakat Hindu lebih banyak merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing. Ini berarti umtt Hindu dalam mecapai tujuan hidupnya terutaka jagadhita, menjadi bagian yang membantu negara Republik Indonesia, mencapai tujuan negara menhantarkan masyarakat Indoonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan dengan membangun masyarakat yang berkeadilan sosial diantaranya, terutama diri merea sendiri dan lingkunagnya  dalam mewujudkan jagadhita tersebut.
Umat hindu juga melaksanakan kewajibannya sebgai warganegara dalam mewujudkan tujuan negara. Salah satu marga yang dapat ditempuh dalam mewujudkan caturpurusa arta itu adalah Jnana Marga, Bhakti Marga terutama bhakti terhadap negara disamping berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Lebih jauh kita perhatikan melalui sejarah panjang kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Hindu telah pernah membawa pengaruh yang sangat kuat sejak kerajaan-kerajaan Hindu daerah Berjaya, sampai kerajaan Hindu Nusantara, yaitu Kerajaan Majapahit, telah memberikan cirri untuk perjuangan dan budaya kita termasuk budaya politik di Indonesia.Sejatinya pengaruh politik Hindu dalam Politik Indonesia, sudah melebur bersama budaya Indonesia, yang terus berkembang sejak perkembangan kerajaan Hindu pertama di Indonesia, masa perjuangan dampai masa pembangunan, maupun masa reformasi yang ditandai dengan lebih suburnya kebebasan Hidup beragama di Indonesia.

E.     AGAMA KONGHUCU DAN POLITIK
Agama konghucu berasal dari china daratan dan yang dibawa oleh para pedagang  tionghoa dan imigran.Diperkirakan pada abad ketiga masehi,orang tionghoa tiba di kepulauan Nusantara.Berbeda dengan agama yang lain,Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi tionghoa,di indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai Atheis dan Komunis ), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen atau Buddha. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa merubah nama dan menaungkan diri menjadi Vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha.
Dizaman reformasi sendiri Seusai Orde Baru, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mencari kembali pengakuan atas identitas mereka. Untuk memenuhi syarat sebagai agama yang diakui menurut hukum Indonesia, maka beberapa lokalisasi dilancarkan menimbulkan perbedaan pengertian agama Khonghucu di Indonesia dengan Konfusianisme di luar negeri.jadi peran politik yang dilakukan oleh kaum tionghoa pada masa sulit dimana kaum tionghoa ditolak keberadaannya di zaman orde baru.
a.       Pokok Agama Konghucu
Seperti halnya ajaran pokok agama lain, dalam agama Konghucu dikenal hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Khalik dan hubungan horizontal antara sesama manusia. Dalam kosa kata Agama Konghucu disebut sebagai Zhong Shu, Satya kepada (Firman) Tuhan, dan Tepasalira (tenggang rasa) kepada sesama manusia. Prinsip Tepasalira ini kemudian ditegaskan dalam beberapa sabdanya yang terkenal, “Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan diberikan kepada orang lain” dan “Bila diri sendiri ingin tegak (maju), berusahalah agar orang lain tegak (maju)”. Kedua sabda ini dikenal sebagai “Golden Rule” (Hukum Emas) yang bersifat Yin dan Yang.
Dalam berbagai kesempatan Kongzi menekankan pentingnya manusia mempunyai “Tiga Pusaka Kehidupan”, “Tiga Mutiara Kebajikan” atau “Tiga Kebajikan Utama”, yaitu : Zhi, Ren dan Yong. Ditegaskan bahwa, “Yang Zhi tidak dilamun bimbang, yang Ren tidak merasakan susah payah, dan yang Yong tidak dirundung ketakutan”.
Zhi berarti wisdom dan sekaligus enlightenment (Bijaksana dan Tercerahkan/Pencerahan). Bijaksana dapat diartikan pandai, selalu menggunakan akal budinya, arif, tajam pikiran, mampu mengatasi persoalan dan mampu mengenal orang lain. Pencerahan atau yang Tercerahkan, berarti mampu mengenal dan memahami diri sendiri, termasuk di dalamnya mampu mengenal yang hakiki. Untuk mencapai Zhi, manusia harus belajar keras, dengan menggunakan kemampuan dan upaya diri sendiri. Agama, para Nabi dan atau Guru Agung hanya bisa membantu, namun untuk mencapainya adalah dari upaya diri sendiri. Orang yang ingin memperoleh Zhi, berarti ia harus belajar keras untuk meraih Kebijaksanaan dan sekaligus Pencerahan (batin).
Ren berarti Cinta Kasih universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat manusia. Ren bebas dari stigma masa lalu dan tidak membeda-bedakan manusia dari latar belakang atau ikatan primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar kelompok. Meski berasal dari satu kelompok, bila seseorang bersalah atau melanggar Kebajikan, maka bisa saja kita berpihak kepada orang yang berasal dari kelompok berbeda namun benar-benar berada dalam Kebajikan. Ren dalam pengertian agama Konghucu selalu didasari pada sikap ketulusan, berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk. Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan bahwa “Orang yang berperi-Cintakasih bisa mencintai dan membenci”. Mencintai Kebaikan dan membenci Keburukan. Balaslah Kebaikan dengan Kebaikan; Balaslah Kejahatan dengan Kelurusan”. Di sini berarti siapa pun yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi pendidikan secara optimal agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak boleh terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang.
Yong sering diartikan Berani atau Keberanian. Namun yang dimaksud dengan Yong, bukanlah keberanian dalam “k” kecil. Berani melawan harimau dengan tangan kosong, berani menyeberangi bengawan tanpa alat bantu, bukanlah Keberanian yang dimaksud Kongzi. Yang dimaksud dengan Keberanian di sini adalah Berani karena Benar, Berani atas dasar Aturan atau Kesusilaan, Berani atas dasar rasa Tahu Malu. Suatu ketika Kongzi berkata, “Bila memeriksa ke dalam diri aku telah berada dalam Kebenaran, mengapa aku harus merasa takut?. Namun bila aku bersalah, kepada anak kecil pun aku tidak Berani”.
Yong juga diartikan sebagai Keberanian untuk melakukan koreksi dan instrospeksi diri. Bila bersalah, kita harus Berani mengakui kesalahan tersebut dan sekaligus Berani untuk mengkoreksinya. Nabi Kongzi berkata, “Sungguh beruntung aku. Setiap berbuat kesalahan, selalu ada yang mengingatkannya”. Ditambahkan, “Sesungguh-sungguhnya kesalahan adalah bila menjumpai diri sendiri bersalah, namun tidak berusaha untuk mengkoreksi atau memperbaikinya”. Maka seorang yang berjiwa besar adalah orang yang berani belajar dari kesalahan. Oleh Mengzi, Yong kemudian dijabarkan sebagai Yi (Kebenaran) dan Li (Kesusilaan, Tahu Aturan, Ketertiban atau Hukum). Bila seseorang mampu menjalani Ren, Yi, Li dan Zhi dengan baik, maka ia diharapkan mampu menjadi seorang Junzi (Kuncu), atau orang yang beriman (dan tentu saja berbudi pekerti luhur). Dalam Islam disebut “Insan Kamil”. Dengan demikian diharapkan ia akan menjadi manusia yang terpercaya atau Dapat Dipercaya (Xin). Pokok ajaran Ren, Yi, Li, Zhi dan Xin atau, inilah yang biasa disebut sebagai “Lima Kebajikan” atau Wu Chang.

F.     NILAI AGAMA DAN BUDAYA POLITIK
Agama menjelaskan pada kita apa itu baik apa itu jahat dan bagaimana melakukan tindakan baik dan apa saja tindakan jahat yang harus dihindari. Agama mensugestikan setiap manusia untuk berbuat tindakan yang baik dan tentunya agama menjelaskan akibat dari perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat. Oleh karena itu banyak orang yang ingin melakukan tindakan benar yang dijelaskan dalam Agama.Nilai-nilai Kebangsaan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945, yaitu: Nilai demokrasi, mengandung makna bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat, setiap warga negara memiliki kebebasan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaran pemerintahan. Nilai kesamaan derajat,  setiap warga negara memiliki hak, kewajiban dan kedudukan yang sama di depan hukum. Dan Nilai ketaatan hukum, setiap warga negara tanpa pandang bulu wajib mentaati setiap hukum dan peraturan yang belaku.  
Berdasarkan uraian nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal UUD Negara RI  Tahun  1945 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan perumusan pasal-pasal UUD Negara RI  Tahun  1945 telah mengakomodasi segala aspek  dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang disesuai-kan dengan kondisi sosial budaya dan agama bangsa Indonesia.  Nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut sampai dengan saat ini masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi kehidupan bangsa Indonesia walaupun adanya pengaruh globalisasi. Sehingga diharapkan nilai-nilai tersebut untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Setiap agama, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan -pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat dengan berbagai agama yang ada.




G.    Konsekuensi Keagamaan bagi Para Politisi
Konsekuensi Keagamaan bagi Para Politisi Kalau semua dimensi di atas dapat terpenuhi sadar tidak sadar individu atau masyarakat tersebut mendapatkan kecerdasan spiritual/emosi yang lebih dewasa. Para politisi mempunayi konsekuensi dalam beragama mereka yang ingin menciptakan kondisi yang demokratis dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), salah satu persyaratannya adalah dipupuknya semangat hidup ke-Bhineka Tunggal Ika-an sesuai dengan ajaran agama. Dalam membangun semangat persatuan inilah salah satu unsur yang sangat penting adalah pluralisme agama-agama, maka yang diperlukan adalah kerjasama berbagai pihak terutama para pemeluk agama. Konsekuensi keagamaan bagi politisi adalah semuanya yang ikut berpartisipasi kerukuanan beragama yang dapat menciptakan kehidupan beragama dengan tenang, damai dan aman yang disertai dengan kesediaan membangun dialog antara umat beragama. Menumbuhkan sikap menghargai kemajemukan agama, adalah
kenyataan setelah reformasi digulirkan. Para Politisi  mengibarkan kembali makna yang tekandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang diakui oleh mereka sebagai asas keagamaan menghormati kebebasan politik masyarakat dewasa ini, yang dilain pihak tidak merugikan keutuhan dan persatuan bangsa dan negara. Tidaklah mudah bagi para politisi menjadikan kerukunan beragama sebagai jalan hidup yang modern, oleh karena pilihan jalan hidup ini mengandung konsekuensi yang tidak ringan, seperti kesedihan mendengar kebenaran yang sangat mungkin terkandung dalam ajaran agama lain, seperti kesediaan belajar dari pengalaman umat beragama sendiri dalam menyelesaikan berbagai masalah-masalah dan konflik yang muncul dalam kehidupan keseharian.





BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan analisis makalah kami ini dapat disimpulkan beberapa hal mengenai peran penting agama terhadap politik
1.      Agama sangat berpengaruh terhadap kehidupan politik bagaimana hubungan antara agama dan politik ini tetap merupakan hubungan yang bersifat intersectional yang berarti hubungan persinggungan antara agama dan politik,Bahkan legitimasi agama tetap diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan negara.
2.      Agama menjelaskan pada kita apa itu baik apa itu jahat dan bagaimana melakukan tindakan baik dan apa saja tindakan jahat yang harus dihindari. Agama mensugestikan setiap manusia untuk berbuat tindakan yang baik dan tentunya agama menjelaskan akibat dari perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat. Olehkarena itu banyak orang yang ingin melakukan tindakan benar yang dijelaskan dalam Agama.
3.      Setiap agama, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Sejarah indonesia mencatat bahwa keterlibatan agama dalam politik sangat berpengaruh terhadap tatanan nilai kenegaraan.






B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan pemakalah, merekomendasikan berupa saran – saran berikut :
1.      Makalah  ini belum komprehensif, karena hanya melihat dari beberapa agama khususnya di indonesia terkait peran penting agama dalam politik.
2.      dalam setiap menentukan kesepakan bekaitan agama harus berpedoman kepada UUD 1945
3.      Para politisi dalam berperilaku hendaknya selalu menjaga citra agama yang bersifat terbuka dan mandiri. Para politisipun harus mengedepankan aspirasi masyarakat dalam nilai-nilai demokrasi, yang sesuai dengan tuntunan agama. Dan para politisi harus mampu menjaga kerukunan hidup seagama, antara agama dan antar pemerintah, dengan cara ini komitmen terhadap kehidupan beragama dengan mengaktualkan secara total wawasan kebangsaan dan keagamaan. Dan hal ini harus didukung nilai-nilai kejujuran dan keadilan dalam bersikap dan berperilaku.











DAFTAR PUSTAKA
Safiie,Inu Kencana ,Ilmu Politik ,Jakarta;PT. Rieneka Cipta,1997 cet ke 1
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta ; Balai Pustaka, 1990
Budiardjo,miriam, dasar-dasar ilmu politik jakarta,PT.Gramedia pustaka,2010
Syafiie Inu Kencana,Ilmu Politik ,Jakarta;PT. Rieneka Cipta,2010,edisi revisi
Donald Eugene,smith  agama dan Modernisasi Politik,Jakarta: CV Rajawali, 1970






[1]  Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta ; Balai Pustaka, 1990)

[2] Drs. Inu Kencana Syafiie,Ilmu Politik , (Jakarta;PT. Rieneka Cipta, Cet.,1,1997), h.18
[3] Ibid hal 18
[4] Miriam budiardjo dasar-dasar ilmu politik (jakarta,PT.Gramedia pustaka)hal 13
[5]  Drs. Inu Kencana Syafiie,Ilmu Politik , (Jakarta;PT. Rieneka Cipta, Cet.,1,1997), h.35
[6] Miriam budiardjo dasar-dasar ilmu politik (jakarta,PT.Gramedia pustaka)hal 17
[7]  Drs. Inu Kencana Syafiie,Ilmu Politik , (Jakarta;PT. Rieneka Cipta,edisi revisi.2010), hal 144
[8] Smith, Donald Eugene., agama dan Modernisasi Politik, (Jakarta: CV Rajawali 1970) hlm. 164
[9]  Ibid hal 332

0 komentar :